Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN)
Author: konselor 19 Oct
Perkembangan bimbingan dan konseling tidak akan terlepas dari Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN). Legal atau tidaknya suatu profesi di tentukan dengan Undang-undang tersebut. Apabila suatu profesi tidak memiliki dan atau tidak tercantum dalam UUSPN maka profesi tersebut di nilai tidak legal namu apabila tercantum maka di nilai legal dan memiliki dasar hukum.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun makalah ini untuk mengetahui perkembangan bimbingan dan konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) dan sebagai upaya untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah Profesi Bimbingan dan Konseling . Adapun judul makalah yang penulis susun adalah, “Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN)”.
1. Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo dahulu.
UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) disahkan bulan Maret 1989 di lingkungan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB). Timbul berbagai kegusaran dan rasa was-was mengenai status tenaga bimbingan dalam UUSPN, juga kekhawatiran mengenai implikasi dari pernyataan dalam UUSPN terhadap masa depan jurussan PPB, nasib para lulusannya dan profesi bimbingan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena ada inkonsistensi antara Pasal 1 ayat 8 dengan Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 1 (8): “Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih peserta didik”. (catatan: disini kata membimbing disebut lebih dahulu).
Pasal 27 (1): “Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan layanan teknis dalam bidang pendidikan”.
Pasal 27 (2): “Tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, serta teknisi sumber belajar”.
Pasal 27 (3): “Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen”.
Berbagai dugaan dan tafsiran muncul, ada yang mengatakan bahwa tidak dicantumkannya pembimbing dalam UUSPN semata-mata karena terlupakan dan bukan kesengajaan. Tetapi berdasarkan pengakuan anggota DPR RI, keterlupaan itu sangat kecil kemungkinannya sebab setiap kata, kalimat, istilah, bahkan sampai titik dan koma serta huruf besar atau kecil dibahas secara rinci beserta implikasi dan kemungkinan tafsirannya yang bisa timbul. Lagi pula tidak mungkin ada keterlupaan massal.
Namun ada tafsiran yang lebih optimistik yaitu bahwa tenaga bimbingan secara implisit masuk dalam pengertian tenaga kependidikan (Pasal 27) menurut rincian Pasal 1 ayat 8. Secara logika memang harus demikian tafsirannya sebaliknya jika tidak, maka ada inkonsistensi antar kedua Pasal ini.
Ada juga tafsiran bahwa pengertian Pasal 1 ayat 8, kata membimbing tidak mengacu kepada tenaga pembimbing, melainkan menunjuk pada pekerjaan bimbingan sebagai fungsi dari tugas-tugas keguruan. Dalam hal ini disebut guru pembimbing (teacher counselor), pembimbing guru (counselor teacher) dan pembimbing penuh (full counselor).
Guru-pembimbing (teacher counselor) adalah tenaga kependidikan yang tugas utamanya mengajar (guru) tetapi melakukan fungsi-fungsi bimbingan. Selama menempuh preservice training mereka disiapkan menjadi untuk guru, tetapi juga secara minimal dibekali oleh keterampilan membimbing, Bisa juga mereka pernah mengikuti penataran bimbingan sehingga dipercaya oleh kepala sekolah untuk melaksanakan bimbingan. Dalam hierarki penguasaan keprofesian bimbingan dan dilihat dari latar belakang pendidikan akademiknya, guru pembimbing termasuk klasifikasi “unprofessional”.
Pembimbing-guru (counselor teacher) adalah pembimbing yang melaksanakan tugas keguruan, namun secara akademik mereka disiapkan sebagai tenaga bimbingan tapi mereka berdwifungsi dengan mengajar sebagai tugas lain dari membimbing. Tenaga macam ini adalah lulusan PPB atau BP jenjang S1 atau D3.
Pembimbing penuh (full counselor) adalah mereka yang secara khusus disiapkan menjadi tenaga bimbingan dan memang di sekolah bertugas secara penuh dalam layanan bimbingan. Mereka itulah yang disiapkan oleh jurusan PPB atau BP yang disebutkan secara eksplisit dalam UUSPN.
Apa pun yang dikatakan UUSPN, bagaimana pun tafsiran orang kepadanya dan sebanyak apa pun kritik yang dilontarkan kepada petugas BP, namun sesungguhnya sumbangan yang telah diberikan dalam bidang pendidikan cukup banyak. Sumbangan itu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kesulitan siswa baik dari segi belajar, emosional, dan faktor lingkungan lainnya. Pada siswa, masalah seperti ini perlu penanganan khusus oleh tenaga khusus (pembimbing) dan bekerjasama dengan guru.
Diakui bahwa selama ini banyak petugas bimbingan yang belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik, namun hal ini tidak bisa digeneralisasikan sebagai kelemahan korps pembimbing secara keseluruhan karena jika kita fair menilai kelemahan yang ditemukan dalm bimbingan juga dihadapi oleh tenaga kependidikan yang lain.
2. Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo sekarang.
Dengan disahkannya UU NO 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memberikan makna tersendiri bagi pengembangan profesi bimbingan dan konseling, dan melahirkan berbagai Peraturan Pemerintah sebagai peletakan dasar pelaksanaan Undang-undang tersebut. PP no 27, 28, 29, dan 30 tahun 1990 mengatur tata laksana pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi serta mengakui sepenuhnya tenaga guru dan tenaga lain yang berperan dalam dunia pendidikan, selain guru.
Peluang lain yang memberikan angin baru badi pengembangan bimbingan dan konseling adalah SK. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 026/1989, yang menyatakan, “adanya pekerjaan bimbingan dan konseling yang berkedudukan seimbang dan sejajar dengan kegiatan belajar”. PP tersebut memberikan legalisasi yang cukup mantap bagi keberadaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Aspek legal keberadaan konselor juga dipeyung UURI No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 yang menyatakan, “Pendidik adalah tenaga kepandidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan ke khususannya, serta bepartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan” (PB ABKIN, 2005: 3-4)
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun makalah ini untuk mengetahui perkembangan bimbingan dan konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) dan sebagai upaya untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah Profesi Bimbingan dan Konseling . Adapun judul makalah yang penulis susun adalah, “Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN)”.
1. Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo dahulu.
UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) disahkan bulan Maret 1989 di lingkungan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB). Timbul berbagai kegusaran dan rasa was-was mengenai status tenaga bimbingan dalam UUSPN, juga kekhawatiran mengenai implikasi dari pernyataan dalam UUSPN terhadap masa depan jurussan PPB, nasib para lulusannya dan profesi bimbingan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena ada inkonsistensi antara Pasal 1 ayat 8 dengan Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 1 (8): “Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih peserta didik”. (catatan: disini kata membimbing disebut lebih dahulu).
Pasal 27 (1): “Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan layanan teknis dalam bidang pendidikan”.
Pasal 27 (2): “Tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, serta teknisi sumber belajar”.
Pasal 27 (3): “Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen”.
Berbagai dugaan dan tafsiran muncul, ada yang mengatakan bahwa tidak dicantumkannya pembimbing dalam UUSPN semata-mata karena terlupakan dan bukan kesengajaan. Tetapi berdasarkan pengakuan anggota DPR RI, keterlupaan itu sangat kecil kemungkinannya sebab setiap kata, kalimat, istilah, bahkan sampai titik dan koma serta huruf besar atau kecil dibahas secara rinci beserta implikasi dan kemungkinan tafsirannya yang bisa timbul. Lagi pula tidak mungkin ada keterlupaan massal.
Namun ada tafsiran yang lebih optimistik yaitu bahwa tenaga bimbingan secara implisit masuk dalam pengertian tenaga kependidikan (Pasal 27) menurut rincian Pasal 1 ayat 8. Secara logika memang harus demikian tafsirannya sebaliknya jika tidak, maka ada inkonsistensi antar kedua Pasal ini.
Ada juga tafsiran bahwa pengertian Pasal 1 ayat 8, kata membimbing tidak mengacu kepada tenaga pembimbing, melainkan menunjuk pada pekerjaan bimbingan sebagai fungsi dari tugas-tugas keguruan. Dalam hal ini disebut guru pembimbing (teacher counselor), pembimbing guru (counselor teacher) dan pembimbing penuh (full counselor).
Guru-pembimbing (teacher counselor) adalah tenaga kependidikan yang tugas utamanya mengajar (guru) tetapi melakukan fungsi-fungsi bimbingan. Selama menempuh preservice training mereka disiapkan menjadi untuk guru, tetapi juga secara minimal dibekali oleh keterampilan membimbing, Bisa juga mereka pernah mengikuti penataran bimbingan sehingga dipercaya oleh kepala sekolah untuk melaksanakan bimbingan. Dalam hierarki penguasaan keprofesian bimbingan dan dilihat dari latar belakang pendidikan akademiknya, guru pembimbing termasuk klasifikasi “unprofessional”.
Pembimbing-guru (counselor teacher) adalah pembimbing yang melaksanakan tugas keguruan, namun secara akademik mereka disiapkan sebagai tenaga bimbingan tapi mereka berdwifungsi dengan mengajar sebagai tugas lain dari membimbing. Tenaga macam ini adalah lulusan PPB atau BP jenjang S1 atau D3.
Pembimbing penuh (full counselor) adalah mereka yang secara khusus disiapkan menjadi tenaga bimbingan dan memang di sekolah bertugas secara penuh dalam layanan bimbingan. Mereka itulah yang disiapkan oleh jurusan PPB atau BP yang disebutkan secara eksplisit dalam UUSPN.
Apa pun yang dikatakan UUSPN, bagaimana pun tafsiran orang kepadanya dan sebanyak apa pun kritik yang dilontarkan kepada petugas BP, namun sesungguhnya sumbangan yang telah diberikan dalam bidang pendidikan cukup banyak. Sumbangan itu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kesulitan siswa baik dari segi belajar, emosional, dan faktor lingkungan lainnya. Pada siswa, masalah seperti ini perlu penanganan khusus oleh tenaga khusus (pembimbing) dan bekerjasama dengan guru.
Diakui bahwa selama ini banyak petugas bimbingan yang belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik, namun hal ini tidak bisa digeneralisasikan sebagai kelemahan korps pembimbing secara keseluruhan karena jika kita fair menilai kelemahan yang ditemukan dalm bimbingan juga dihadapi oleh tenaga kependidikan yang lain.
2. Bimbingan dan Konseling dalam Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (UUSPN) tempo sekarang.
Dengan disahkannya UU NO 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memberikan makna tersendiri bagi pengembangan profesi bimbingan dan konseling, dan melahirkan berbagai Peraturan Pemerintah sebagai peletakan dasar pelaksanaan Undang-undang tersebut. PP no 27, 28, 29, dan 30 tahun 1990 mengatur tata laksana pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi serta mengakui sepenuhnya tenaga guru dan tenaga lain yang berperan dalam dunia pendidikan, selain guru.
Peluang lain yang memberikan angin baru badi pengembangan bimbingan dan konseling adalah SK. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 026/1989, yang menyatakan, “adanya pekerjaan bimbingan dan konseling yang berkedudukan seimbang dan sejajar dengan kegiatan belajar”. PP tersebut memberikan legalisasi yang cukup mantap bagi keberadaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Aspek legal keberadaan konselor juga dipeyung UURI No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 yang menyatakan, “Pendidik adalah tenaga kepandidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan ke khususannya, serta bepartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan” (PB ABKIN, 2005: 3-4)